Lastinawati Bermula ingin segera pindah ke Kabupaten Muara Enim Oknum Aparatur Sipil Negara, nekat menghalakan berbagai cara, dengan menduplikat KK dan KTP yang beralamat yang berbeda. Dalam hal ini, terlihat dan beralamatkan Kartu Keluarga No.1811022007110041, Nama Kepala Keluarga Ardi Wiradinata Desa Bitis kecamatan Gelumbang Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, dan Nama Istri Lastinawati dan anak aurel dikeluarkan tanggal 16 Februari 2022 dan kolom kepala Keluarga Belum di tanda tangani dan status perkawinan keterangan belum tercatat.
Dan selanjutnya Kartu Keluarga No.1811022007110041, kepala keluarga Ardi Wiradinata Desa Sungai Cambai kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung Status Perkawinan keternagan Kawin dan kolom kepala keluarga ditanda tangani.
Ardi mengatakan dirinya sebagai kepala keluarga selamaini tidak pernah merasakan pindah alamat kependudukan, bahkan KTP saya aktif saat ini beralamat Kabupaten Mesuji Lampung dan Berlaku hingga Seumur Hidup katanya
Dan ia mengatakan dengan munculnya saya memiliki alamat lain yang dikeluarkan dinas catatan sipil Kabupaten Muara Enim, ini sangat membuat heran padahal sekarang sudah zaman sanagt ketat, Kenapa bias saya punya Kartu Keluarga serta KTP bias dikeluarkan orang lain tanpa sepengetahuan saya sebagai Kepala Keluarga tuturnya
Lansir halaman https://disdukcapil.lampungutarakab.go.id/UU No.24 Tahun 2013 pasal 1 point 9 menyebutkan bahwa data kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.
Bentuk dari dokumen kependudukan tersebut meliputi antara lain Nomor Induk Kependudukan (NIK), Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el), Akta/Surat Nikah/Cerai, Akta Kelahiran/Kematian, Akta Pengesahan Anak, Pengangkatan Anak, Perubahan Nama dan Perubahan Status Kewarganegaraan.
Perubahan elemen data kependudukan harus dilaporkan kepada instansi pelaksana agar data kependudukan menjadi akurat dan mutakhir karena dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan sangat membutuhkan data yang akurat berimplikasi pada pelayanan publik dan pembangunan di sektor lain. Banyak contoh yang terjadi di lapangan adalah tingkat pendidikan penduduk di Kartu Keluarga tidak pernah dirubah meskipun anak tersebut sudah lulus SD bahkan ada yang hingga lulus sarjana data tersebut tidak pernah diperbaharui.
Sekilas pemalsuan data kependudukan dan dokumen kependudukan tampak sederhana, dan sudah lazim terjadi. Namun demikian, meskipun kelihatannya sederhana, pemalsuan dokumen kependudukan dapat menimbulkan dampak yang serius, yakni munculnya berbagai tindak pidana di tengah masyarakat.
Manipulasi data biasanya terjadi dikarenakan adanya maksud tertentu untuk menerobos aturan yang berlaku sesuai dengan kepentingannya. Seperti mengakali sistem zonasi pada saat anak ingin masuk sekolah, memalsukan data kematian agar dapat menikah kembali, memalsukan data untuk tujuan penerimaan bantuan sosial atau untuk kepentingan-kepentingan lainnya.
Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Prof. DR. Zudan Arif Fakrulloh, menyebut sanksi berat menanti bagi orang yang melakukan pemalsuan atau penyalahgunaan dokumen kependudukan.
Disebutkan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan bahwa:
- Pasal 93 : Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50 juta.
- Pasal 94 : Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
- Pasal 96A : Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dinas Dukcapil selaku instansi pelaksana di daerah dituntut untuk lebih teliti dalam menerima pelaporan yang diajukan oleh penduduk. Peningkatan kompetensi petugas sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan yang lebih baik untuk menghasilkan data yang benar dan akurat. Petugas pada instansi pelaksana wajib memahami seluruh aturan perundang-undangan, dapat memberikan solusi atas permasalahan data kependudukan dan tidak tergiur dengan materi yang ditawarkan oleh penduduk